Jumat, 06 November 2009

Dokter, Dokter Gigi dan Undang-Undang

Pembangunan bidang kesehatan sesuai dengan paragraf awal undang undang praktek kedokteran no 29 tahun 2004 ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam pembukaan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945. Berikutnya dicantumkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkwalitas dan terjangkau oleh masyarakat.
Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 yang resmi diberlakukan pada tanggal 6 Oktober 2005 lalu, merupakan suatu perubahan besar bagi dunia kedokteran di Indonesia. Undang-undang ini dibuat dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberikan landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran. Perubahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kedokteran di Indonesia. Walaupun , di samping harapan, muncul pula berbagai kontroversi dari berbagai pihak terhadap Undang Undang Praktek Kedokteran ini.
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sengaja dibuat untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Dalam Undang-Undang No 29 tahun 2004 dimuat aturan tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila bekerja di rumah sakit.
Namun pasal ancaman pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran tersebut, dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang yang dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi pada tanggal 19 juni 2007 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ancaman pidana pada pasal 75 ayat (1), pasal 76 dan pasal 79 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian, dokter yang tak memiliki Surat Izin Praktek (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) kini bisa lega, tak perlu khawatir dipenjarakan. Ancaman pidana melalui keputusan MK tersebut memang ditiadakan karena dianggap bukan merupakan pelanggaran pidana atau tindak pidana, namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan ancaman denda kepada mereka yang mengabaikan kewajiban STR dan SIP, atau pemasangan papan nama tanda praktek.
Pelanggaran terhadap pasal 29 ayat (1) diatur dalam pasal 75 ayat (1) tentang pembuatan STR (surat tanda registrasi) akan dikenakan denda paling banyak Rp.100.000.000,-. Seorang dokter yang tidak memiliki surat ijin praktek (SIP) dalam pasal 76, dikenakan denda paling banyak Rp.100.000.000,-. Sedangkan pada pasal 79, dikenakan denda paling banyak Rp.50.000.000 bagi dokter yang tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis dalam prakteknya, dan apabila melanggar pasal 51.
Pasal 51 pada undang-undang praktek kedokteran itu sendiri berisi tentang kewajiban seorang dokter untuk memberikan pelayanan kepada pasien sesuai standar profesi, standar operasional serta sesuai dengan kebutuhan pasien. Pasal 51 juga mengharuskan seorang dokter untuk merujuk penderita kepada yang lebih ahli bila tidak mampu lagi menangani kasus tersebut, merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasiennya bahkan sesudah penderita meninggal. Selain itu dokter juga dituntut untuk memberikan pertolongan darurat, dan senantiasa menambah pengetahuan dibidangnya.
Beberapa waktu yang lalu seorang dokter dan sebuah rumah sakit ternama di indonesia dinyatakan melakukan malpraktek dan mendapatkan tuntutan ganti rugi sebesar dua miliar rupiah karena telah salah dalam mendiagnosa penyakit sehingga menyebabkan kematian dari seorang penderita. Dalam kaitannya dengan kasus tersebut, untuk mengantisipasi kesalahan yang sama, maka tercantum dalam undang-undang praktek kedokteran bahwa setiap dokter di indonesia diwajibkan untuk terus menerus meningkatkan ilmu pengetahuannya, memperluas cakrawala dengan mengikuti berbagai macam pelatihan, seminar, bahkan pendidikan lanjutan guna memperbaharui ilmu yang dimilikinya. Dengan terus berkembangnya pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan seorang tenaga medis, maka diharapakan tidak akan ada lagi kesalahan kesalahan dalam melakukan pekerjaannya sebagai tenaga kesehatan yang profesional.
Profesionalisme seorang tenaga medis sesuai dengan yang disebutkan dalam undang undang, bahwa praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang boleh dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan etik, standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya. Dan kompetensi setiap dokter akan terus menerus diuji kembali setiap kali akan memperbaharui surat tanda registrasi.
Pada bagian lain dari Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Sebagai informasi bagi masyarakat yang menggunakan jasa tenaga medis, didalam undang-undang praktek kedokteran ini disebutkan bahwa setiap penderita memiliki hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang penyakit yang dideritanya, mendapatkan penjelasan tentang pengobatan dan tindakan medis yang akan diberikan oleh dokter kepadanya
Jadi janganlah ragu ataupun takut menanyakan apa saja yang ingin anda tanyakan tentang kondisi anda bahkan tentang obat-obatan yang diberikan oleh dokter anda meskipun banyak menyita waktu pelayanannya karena hal tersebut adalah hak anda sepenuhnya yang telah diatur dalam undang-undang. Seorang dokter yang mengerti tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku akan memahami dengan sebenar-benarnya tentang kewajibannya untuk melayani pertanyaan pasien yang berada dalam perawatannya, menjelaskan dengan benar tentang segala sesuatu yang diketahuinya tentang penyakit dan menjelaskan pengobatan yang diberikannya.
Perlu disadari oleh para praktisi dunis kedokteran, bahwa tuntutan yang bermunculan belakangan ini lebih banyak disebabkan oleh kesalahpahaman dari pihak masyarakat sebagai konsumen. Mereka perlu mendapatkan penjelasan yang baik tentang perjalanan penyakitnya yang mungkin akan memberat, penderita juga perlu mendapatkan penjelasan yang benar tentang akibat dari penyakit yang dideritanya, faktor-faktor yang dapat memperburuk penyakitnya, bagaimana efek obat yang akan dikonsumsinya dan lain sebagainya.
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak salah mengerti sehingga mengartikan memburuknya kondisi seseorang setelah mendapatkan pengobatan sebagai malpraktek. Bahkan akan lebih berbahaya jika ketidaktahuan masyarakat ditumpangi oleh provokasi pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab yang dengan mudahnya mengatakan setiap kematian ataupun penderitaan yang terjadi pada beberapa penderita setelah mendapatkan perawatan medis sebagai malpraktek tanpa diselidiki terlebih dahulu.
Seandainya seluruh tenaga kesehatan, dokter, bidan, perawat, dan profesi kesehatan lainnya yang menjalankan tugas di indonesia ini telah menjalankan tugasnya sesuai dengan porsi masing-masing dengan berpegang teguh pada tujuan kemanusiaan dan undamg-undang yang ada untuk mewujudkan kesehatan yang optimal bagi seluruh rakyat indonesia tanpa pandang bulu, tanpa membedakan dan terlepas dari orientasi keuntungan materi, maka tidak akan ada lagi keluhan yang terjadi di masyarakat tentang diskriminasi pelayanan medis, mahalnya biaya untuk pelayanan medis maupun keluhan atas pelayan medis yang kurang profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar